INSPIRASISEMANGAT MUSLIM MUDA
Menyingkap Rahasia Hari yang Sepuluh
- - Majalah AlFirdaus
Bismillaahirrahmaanirrahiim
*sebuah
oleh-oleh dari Pengajian Umum 'Rahasia Dzulhijjah dan Qurban', 1 Dzulhijjah
1434 H / 6 Oktober 2013 di Masjid Babussalam, Borong Raya, Makassar.
Langit
cerah menghiasi Kota Makassar hari itu.
Di salah satu titik di daerah Borong Raya, nampak sesuatu yang berbeda
dari hari biasanya. Masjid Babussalam menjadi saksi sejumlah kaum muslimin yang
turut serta menghadiri Pengajian Umum dengan tema “Rahasia Dzulhijjah dan
Qurban”. Pengajian ini diisi dengan dua materi yang dibawakan oleh Syaikh
Abdullah Harbi, da’i dari kementrian Arab Saudi, dan Ustadz Yusran Anshar, Lc.
Alhamdulillah, AF berkesempatan untuk ikut juga! Nah, ini oleh-oleh ilmu yang
bisa AF bagikan!
Satu Dzulhijjah
adalah hari pertama dari hari-hari terbaik di dunia. Dalam setahun, terdapat
365 hari, dan pada 1 Dzulhijjah, kita telah memulai hari pertama dari sepuluh
hari yang mulia itu. Hal ini merupakan nikmat yang sangat besar, dimana Allah
membuka kesempatan yang begitu luas bagi kita unuk melakukan amal kebajikan di
hari-hari istimewa ini. Betapa besar kasih sayang Allah kepada para hambaNya
yang notabene senantiasa berbuat dosa dan kelalaian, dengan menghadirkan
ditengah-tengah kita kesempatan untuk memperoleh ampunan dari dosa-dosa kita
dalam setahun tersebut.
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada hari dimana amal shalih
pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh
hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad
fi sabilillah ? Beliau menjawab : Tidak juga jihad fii sabilillah, kecuali
orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali
dengan sesuatu apapun".
Mari kita
renungkan perumpamaan ini: Saat seseorang hendak memberikan hadiah kepada orang
lain, maka ia akan menghadiahkan sesuatu yang dicintai oleh orang tersebut,
bukan sesuatu yang sekadar ia sendiri cintai. Maka, tersebab Allah mencintai
amalan-amalan pada sepuluh hari ini, sudah sepantasnya kita sebagai hamba
menghadiahkan amalan tersebut hanya kepada Allah.
Sebuah kasih
sayang Allah pula, dimana Dia tidak menentukan amalan tertentu pada hari-hari
tersebut, namun disebutkan amal shalih secara umum, apa saja, dengan niat yang
ikhlas. Namun meskipun amal shalih memiliki cakupan yang sangat luas, ada
beberapa amalan yang sangat dianjurkan untuk kita lakukan pada hari-hari yang
mulia ini.
1.
Taubat kepada Allah
Taubat dilakukan
atas segala kesalahan di hari-hari yang lalu yang kita belum bertaubat atasnya.
Maka, sepuluh hari ini adalah kesempatan yang amat baik untuk bertaubat.
Manusia senantiasa melakukan kesalahan, namun saat ia bertaubat, maka Allah
akan mengampuninya, bahkan bergembira atas hal tersebut.
"Sesungguhnya
Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat pada-Nya
melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang berada di atas
kendaraannya dan berada di suatu tanah yang luas (padang pasir), kemudian hewan
yang ditungganginya lari meninggalkannya. Padahal di hewan tunggangannya itu
ada perbekalan makan dan minumnya. Sehingga ia pun menjadi putus asa. Kemudian
ia mendatangi sebuah pohon dan tidur berbaring di bawah naungannya dalam
keadaan hati yang telah berputus asa. Tiba-tiba ketika ia dalam keadaan seperti
itu, kendaraannya tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Karena
sangat gembiranya, maka ia berkata, 'Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku
adalah Rabb-Mu.' Ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya."
(HR. Muslim no. 2747).
2.
Meninggalkan Dosa dan Maksiat
Setiap dosa akan
meninggalkan titik hitam pada hati kita. Jika dosa tersebut terus menerus
dilakukan, maka hati akan dipenuhi dengan noda hitam. Betapa beruntungnya kita,
sebab Allah tidak menghukum kita atas kesalahan yang sebatas kita pikirkan dan
kita khayalkan, namun hanya menghisab kita atas kesalahan yang kita lakukan.
Namun, sudah selayaknya kita berupaya menghilangkan pikiran dan angan-angan
tentang dosa tersebut, sebab hal itu merupakan langkah awal dari sebuah
kesalahan. Meninggalkan dosa dan maksiat adalah hal pertama yang harus kita
lakukan untuk memulai sebuah amal shalih.
Syaikh
memberikan pemisalan, layaknya sebuah gelas yang berisi tinta hitam. Maka, kita
akan memasukkan air yang jernih terus menerus ke dalamnya, untuk membersihkan
tinta tersebut, hingga airnya berubah menjadi jernih. Saat air itu telah
jernih, maka kita patut terus mengalirkan air jernih padanya untuk menjaga
kebersihan air tersebut, sebab air yang menggenang akan lebih mudah untuk kotor
kembali.
Gelas itu adalah
hati kita. Tinta hitam adalah dosa, sedangkan air yang jernih yang pertama
adalah usaha meninggalkan dosa, dan air yang terus dialirkan adalah amal shalih
yang diikutkan selepas taubat.
3.
Menjaga Amalan Wajib
Sebelum ini,
mungkin kita telah berupaya untuk terus menjaga amalan wajib kita. Namun,
hendaknya pada sepuluh hari pertama ini, kita semakin meningkatkan usaha
tersebut dengan menyempurnakan pelaksanaannya, serta menambahkannya dengan
amal-amal sunnah.
4.
Berpuasa
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah”
(HR. Abu Daud)
Diriwayatkan
dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda : "Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah
melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka
selama tujuh puluh tahun". [Hadits Muttafaqun 'Alaih].
5.
Memperbanyak Takbir
Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhu berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Tiada hari-hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintaiNya untuk beramal
di dalamnya dari pada 10 hari (Dzulhijjah) ini, maka perbanyaklah tahlil,
takbir, dan tahmid pada saat ini.” (HR. At-Thabrani)
Imam Al-Bukhari
rahimahullah berkata: “Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dan Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu keluar ke pasar sambil mengumandangkan takbir dan
orang-orang membaca takbir karena takbir beliau berdua.” Al-Bukhari juga
mengatakan, “Umar bertakbir di kubah beliau di Mina sehingga jamaah masjid
bertakbir mengumandangkannya dan bertakbir semua, penghuni pasar-pasar
bertakbir sehingga Mina merata dengan gema takbir”.
Takbir dilakukan
secara individual, bukan dengan bersamaan, dan tidak dengan komando sebab hal
itu tidak ada dalilnya. Kita dimotivasi untuk memperbanyak takbir dengan
menghayati maknanya. Sungguh, Allah Maha Besar atas segala sesuatu!
6.
Memperbanyak Membaca Al Qur’an
“Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu
kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan
semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf,
Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam
kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)
Buatlah program
membaca Al Qur’an, misalnya dengan menargetkan membaca setengah juz sebelum dan
sesudah setiap shalat fardhu, maka dalam enam hari, kita sudah bisa
mengkhatamkan 30 juz, insyaAllah...
7.
Bersedekah dan Berbuat Baik pada Orang Lain
Bersedekah dapat
dilakukan dengan uang, atau dengan barang, bahkan dengan sesuatu yang bersifat
nonmateril.
8.
Berbakti pada Orang Tua, Menyambung Silaturahim dengan Mendamaikan Dua Pihak yang
Bersengketa.
9.
Berbuat Baik pada Tetangga, Memuliakan Tamu, Santun pada Siapapun, Menjaga Diri
dari Amarah, dan Mengedepankan Akhlak yang Mulia.
Jadikanlah
seluruh anggota tubuh kita ikut melakukan hal-hal terbaik yang bisa
dilakukannya.
10.
Menciptakan Kebaikan, Mengajarkan Kebaikan pada Anak-Anak.
Misalnya tentang
Ibadah Haji, Dzikir, Tasbih, Tahmid, dan Tahlil.
11.
Memperbanyak Istighfar dan Mengajak pada Kebaikan serta Mencegah dari
Kemungkaran.
12.
Memperbanyak Doa, Khususnya pada Hari Arafah, yakni pada 9 Dzulhijjah.
Doakanlah diri
kita, keluarga kita, kaum muslimin di seluruh bumi Allah, khususnya doakanlah
kemenangan bagi kaum muslimin di negeri-negeri yang tengah bergolak dan
tertindas. Misalnya untuk saudara-saudara kita di Suriah. Mereka dikepung oleh
orang-orang Syi’ah dari Iran dan negeri Syiah lainnya, orang-orang kafir dari
negara barat, dan orang-orang munafik dari negara-negara Arab. Ketika perjuangan kaum muslimin sudah menemui
titik terang lewat jihad, barulah mereka-mereka yang mengepung itu menawarkan
solusi perdamaian. Maka, ambillah berita-berita tentang Suriah dari media yang
diisi oleh orang-orang yang berilmu syar’i, bukan dari media sekuler yang
selalu memutarbalikkan fakta dan memberitakan kedustaan.
Umur kita di dunia
ini sangatlah singkat, sementara dosa-dosa kita begitu banyak. Kesempatan di
penghujung tahun ini semoga dapat kita manfaatkan dengan sebaik mungkin untuk
memperbaiki diri kita dengan amal-amal kebaikan.
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk
mengambil kemanfaatan dari ilmu yang dibawakan oleh Syaikh. Semoga bisa kita
amalkan bersama, ya Shohib AF.. Nah, pada materi kedua, akan dibahas tentang
Fiqh Qurban dan Idul Adha. Nantikan di tulisan berikutnya ya! Insyaa Allah...
(AR)
Semarak Gema Takbir di Tanah Mandar
- - Majalah AlFirdaus
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Oke sekarang marilah kita menengok
sejenak ke suatu kampong di belahan bumi Sulawesi Barat, tepatnya di PolMan (Polewali
Mandar), PolMas (Polewali Mamasa) dulu adalah nama yang pertama kali disematkan
untuk kota ini tapi semenjak beberapa tahun lalu nama Polman pun telah menjadi
ciri khas dari kota ini, yaa mungkin karena sekarang tanah ini lebih banyak “dihuni”
oleh orang Mandar.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa ramadhan di “kampong” sedikit lebih bermakna
daripada merayakan di kota. Itulah yang kami rasakan setelah kata mudik lebaran,
menjadi sebuah tradisi lagi setelah hampir 3 tahun kami lewatkan.
Malam
takbiran di kampong selalu lebih bermakna, seperti halnya di Polman sudah
menjadi tradisi setiap malam takbiran ratusan hingga ribuan warga memadati sisi
jalan untuk menyaksikan puluhan bahkan ratusan kendaraan roda dua atau pun roda
empat yang melakukan pawai perayaan malam takbiran. Kendaraan-kendaraan itu pun
di hiasi dengan miniatur mesjid diiringi dengan suara gema takbir. Allahu
Akbar!
Hal
ini pun merupakan suatu momen yang sangat berharga dan hiburan tersendiri bagi
masyarakat, apalagi malam takbiran hanya dirayakan setahun sekali. Bunyi
petasan dan letusan kembang api pun turut menambah keindahan warna langit malam
itu.
Malamnya yang
menggema, dan paginya yang cerah! Shalat ied sendiri di pusatkan di Lapangan
Pancasila, lapangan ini cukup luas, di lapangan ini memang sering di adakan
beberapa kegiatan-kegiatan yang menyangkut dengan acara pemkot Polman. Dan yang
memberi kata sambutan juga langsung dari pemimpin kota, bapak Bupati. Setelah
pelaksanaan shalat ied masyarakat berbondong-bondong bersalaman dan
bersilaturrahim ke rumah jabatan bapak Bupati Polman yang memang berada tepat
disebelah Selatan lapangan ini.
Lebaran di kampung
halaman memang lebih sering meninggalkan bekas yang mendalam lebih dari di
kota, mulai dari adzan maghrib yang pertanda bahwa ramadhan telah pergi dan
syawal telah menyambut, detik jarum jam pada malam itu pun terasa lebih lama
berputar, ditemani dengan alun-alunan pawai keliling yang telah jauh-jauh hari
di siapkan yang menggema menyeruhkan kalimat takbir.
Itulah
mungkin untaian kata yang bisa menggambarkan suasana idul fitri di tanah anak
mandar, Polman, Sulawesi Barat… Tidak seperti di kota-kota pada umumnya,
suasama malam takbiran tidak begitu terasa, karena masing-masing rumah
mempunyai kesibukannya masing-masing, beda ibu kota, beda pedesaan, suasanya
masing begitu hangat.
Ya
itulah sekelumit kisah menakjubkan, menghabiskan malam di kampong halaman kami,
lalu bagaimana di tempat kalian?? ^_^ (UK)
Ketika Lelah Berkebaikan
- - Majalah AlFirdaus
Bismillaaahirrahmaanirrahiim
“Apakah kamu masih
pernah mengingatnya?”, tanya seorang
kawan saat kami sedang dalam perjalanan ke rumah masing-masing. Dia bertanya
tentang seorang saudari kami yang beberapa tempo lalu, sebelum Ramadhan datang,
telah menyelesaikan skenario hidupnya di dunia. Kawan saya itu mengaku, bahwa
seringkali ia tiba-tiba mengingat beberapa kenangan dengan saudari kami yang
sudah meninggal itu.
Saat ditanya seperti itu, saya mengangguk. Ya, saya
pun kadang mengingat beliau. Saya mengingat bacaan Qur’annya yang indah, juga
tutur katanya yang sejuk. Namun, ada satu memori yang kadang melintas di benak
saya tentangnya, sebuah nasihat yang ia kirimkan lewat pesan singkat.
“Saat kita telah
lelah melakukan kebaikan, lalu tiba-tiba memiliki keinginan untuk kembali pada
keburukan, maka ingatlah bahwa bisa saja saat itu adalah saat Allah mengakhiri
hidup kita. Maka, inginkah kita memiliki akhir yang buruk?”
Nasihat singkat yang selalu terlintas di benak saya,
ketika rasa lelah itu datang.
Mungkin, memang telah tiba masa dimana berpegang
teguh pada kebenaran terasa bagaikan menggenggam bara api. Rasanya, ingin
segera cepat-cepat melepaskannya, karena ketidaknyamanan, bakan keperihan yang
kita rasakan. Hari-hari dihiasi dengan berbagai macam berita yang bercampur
aduk antara yang haq dan yang bathil. Tanpa kemampuan untuk memilah
keduanya, sangat mungkin kita terjatuh pada keburukan, dan sangat berpeluang
kita merasa lelah dalam berkebaikan.
Terkadang, kesalahan-kesalahan kecil kita carikan
pembenaran. Dosa-dosa yang terlihat sepele kita anggap remeh. Ia bagaikan lalat
yang nangkring di hidung dan bisa
segera kita halau agar terbang dari sana. Dosa bukan lagi kita lihat serupa
gunung yang bisa menimpa kita kapan saja. Padahal tanpa kita sadari, dosa-dosa
yang kita remehkan itu, bisa saja menjelma menjadi dosa yang besar.
Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qasidin (Jalan Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk),
memaparkan bahwa ada beberapa hal yang dapat menyebabkan dosa kecil menjadi
besar, diantaranya:
Pertama,
menganggap remeh perbuatan buruk. Menganggap remeh sebuah dosa, akan membuat
seseorang tidak merasa perlu untuk menghindarinya. Padahal, selagi seorang
hamba menganggapnya kecil dan remeh, maka sebenarnya dosa itu akan menjadi
besar di sisi Allah. Bilal bin Sa’d Rahimahullah
berkata, “Janganlah kalian melihat
kecilnya kesalahan, tetapi lihatlah keagungan yang kalian durhakai”.
Kedua,
merasa senang melakukannya, bahkan membanggakannya. Ridha terhadap kesalahan
diri, bahkan membanggakannya, karena menganggapnya hanya kesalahan kecil
(bahkan menganggapnya bukan kesalahan), adalah diantara penyebab dosa kecil
setara dengan dosa besar.
Ketiga,
meremehkan kasih sayang Allah. Seseorang yang terus meremehkan dosa kecil
berarti ia tidak sadar bahwa sikapnya itu dapat mendatangkan kemurkaan dari
Allah.
Keempat,
menceritakan dosanya pada orang lain. Tidak sadarkah kita bahwa menceritakan
kesalahan kita pada orang lain, bisa saja menjadi inspirasi orang lain untuk
melakukan hal yang sama? Atau mungkin pula menjadi pembenaran baginya untuk
turut melakukan hal yang serupa. Naudzubillah,
jangan sampai hal itu menjadi dosa jariyah bagi kita!
Terlebih lagi, jika
penyebab kelima pun turut di
dalamnya, yaitu sebab yang melakukannya adalah seorang ulama yang menjadi
panutan. Maka, orang-orang akan mudah untuk menjadikan kesalahannya itu sebagai
alasan untuk memudah-mudahkan melakukan dosa.
Sebab seharusnya, seorang ulama
memiliki dua tugas, yaitu:
1. Meninggalkan dosa,
2. Menyembunyikan dosa itu jika ia
melakukannya, agar tidak ada orang yang mengikutinya.
Maka, jangan sampai kita menjadi orang-orang yang
menganggap kecil perbuatan dosa. Jangan sampai kita adalah diantara manusia
yang lelah berbuat baik, lalu kemudian memilih untuk berpaling pada keburukan.
Sebab, mari bersama-sama kita menjadikan kematian sebagai sebaik-baik nasihat.
Jangan sampai, hidup kita menjadi buruk pada akhirnya.
Tetaplah setia pada jalan kebenaran, sesulit apapun
ia ditempuh. Sesunyi apapun keadaannya. Dan seasing apapun kondisi kita saat
menyusurinya. Sekelam apapun masa lalu kita, tetaplah ingat bahwa kebaikan akan
menghapuskan keburukan sebagaimana Allah telah berfirman,
“Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk.” (Hud:114)
Wallahu a’lam bishawab. (AR)
Wahai Orang yang Terhadang Badai!
- - Majalah AlFirdaus
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Wahai manusia… di dalam
kehidupan pasti ada kekeruhan, pasti ada kesusahan-kesusahan dan pasti ada
ujian. Perkara-perkara ini adalah bagian dari hukum Allah Azza wa
Jalla terhadap makhlukNya untuk melihat siapakah di antara kita yang paling
baik amalannya.
Jadi
tidak diragukan lagi bahwa seorang manusia akan menghadapi berbagai bencana dan
musibah. Namun tiada yang menimpa diri seorang hamba kecuali yang ditetapkan
oleh Allah Ta’ala kepadanya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang
tertuang dalam QS. At Taubah ayat 51 yang artinya, “Katakanlah, ‘sekali-kali
tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami’.”
Sesungguhnya
jiwa manusia hanya dapat menjadi bersih nan suci, apabila telah ditempa dengan
sangat baik. Ujian dan cobaan akan memperlihatkan kesejatian seseorang.
Ibnul
Jauzi mengungkapkan, “orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan
abadi tanpa ujian dan cobaan, berarti ia belum mengenal ajaran Islam dan tidak
mengenal arti pasrah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Allah
Ta’ala tidak pernah menahan sesuatu untukmu, wahai orang yang terhadang badai,
tetapi karena Allah Ta’ala akan memberikan sesuatu yang lain. Allah Subhanahu
wa Ta’ala menguji untuk memberikan keselamatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
cobaan untuk membersihkan diri kita. Selama masih ada umur, rezeki pasti akan
datang Insyaa ALLAH.
Seorang
ulama mengungkapkan, “orang yang diciptakan untuk masuk syurga, pasti akan
merasakan banyak kesulitan. Musibah yang sesungguhnya adalah yang menimpa agama
seseorang. Sementara musibah-musibah selain itu merupakan jalan keselamatan
baginya. Ada yang berfungsi meningkatkan pahala, ada yang menjadi pengampun
dosa. Orang yang benar-benar tertimpa merana adalah mereka yang terhalang dari
mendapatkan pahala.”
Jadi yakinlah bahwa pengaturan Allah Ta’ala lebih baik
dari pengaturan kita sendiri dan rahmatNya lebih besar dari kasih sayang
seorang ibu terhadap buah hatinya. Tak ada satu alasan pun bagi seorang yang
bertakwa untuk tidak memberikan keridhaan yang seutuhnya terhadap apa-apa yang
dibagikan Allah Azza wa Jalla untuk diri kita sendiri sehingga Allah Azza wa
Jalla akan memberikan keberkahan dan kelapangan.
Sebaliknya, barang siapa tidak
ridha, Allah Azza wa Jalla pun tidak akan memberinya kelapangan dan keberkahan.
Sehingga dapat dikatakan orang yang ridha adalah orang yang menganggap
nikmat-nikmat Allah, yaitu berupa sesuatu yang dibencinya lebih banyak dan
lebih besar daripada sesuatu yang dicintainya.
Aku
berbaik sangka dengan kebaikan ampunan-Mu
Yaa
Rabb yang Maha Indah
Engkau
adalah penguasa urusanku
Aku
menjaga rahasiaku dari seluruh kerabat dan keluarga
Engkau
adalah gudang rahasiaku
Yakin
dengan rahasia yang berada di sisi-Mu
Jangan
Engkau tidak menyia-nyiakanku ketika hari pengumpulanku
Hari
ketika diangkatnya penutup-penutup dari hijab-hijab ghaib
Janganlah
Engkau bukakan penutupku kepada manusia
Ajarkanlah
hujjahku kepada diriku
Jikalau
Aku—yaa Rabb—tidak memiliki hujjah dan udzur
Maraji : - La Tahzan
for Trouble Solutions (Mahmud Al Mishri)
- “ila ahlil masa’ib wal ahzan”, khutbah Syaikh Dr. Abdul Muhsin
Al-Qasim
Mentimun: Dulu dan Kini!
- - Majalah AlFirdaus
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Wajah
adalah salah satu bagian terpenting bagi seorang wanita. Apatah lagi bagi seorang muslimah, sudah
seharusnyalah mereka merawat sesuatu yang telah diamanahkan Allah subhanahu wa
Ta’ala padanya. Yaa dalam hal ini termaksud dalam merawat kulit wajahnya.
Sebagian
besar kaum hawa, wanita, perempuan, cewek, akhwat muslimah atau apapun namanya
masih biasa menggunakan masker wajah, dan tidak sedikit dari kalangan kita
karena ingin penampilannya lebih menarik terkadang mengorek nilai rupiah yang
tidak sedikit dari dompetnya, dan sudah jadi rahasia umum juga bagi kalangan
perempuan, bisa menjadi masalah besar buatnya kalau sudah berbicara tentang
kulit wajah. Berikut AF akan menyajikan bagaimana caranya membuat masker alami,
tanpa biaya mahal ^^
Yuup,
mentimun
siapa sih yang tidak kenal dengan sayuran yang satu ini? Atau mungkin
kalau masyarakat Makassar lebih dikenal dengan bontek. Selain mudah
didapatkan,
harganya pun cukup terjangkau. Kalau dulu di jaman nenek moyang kita,
mentimun
hanya dikenal sebagai sayuran, yaa walaupun hingga kini juga masih
sering
digunakan sebagai sayuran, sebagai pelengkap makanan seperti pecel
mungkin ataupun sebagai hiasan nasi goreng, tapi sekarang seiring
berkembangnya ilmu
pengetahuan, mentimun tidak hanya digunakan sebagai pelengkap pencernaan
kita, kini mentimun juga sudah bisa digunakan untuk menghilangkan noda
membandel di wajah alias jerawat. Nagh loh, bagaimana caranya?
Seperti yang dikutip dari vemale.com, kita dapat
menghilangkan jerawat menggunakan buah mentimun. Ada beberapa cara yang bisa
Anda gunakan, di antaranya:
- Masker Mentimun. Caranya haluskan mentimun dengan blender kemudian oleskan pada permukaan wajah. Diamkan kurang lebih selama 30 menit, kemudian bersihkan dengan handuk yang sudah dicelupkan dengan air hangat. Bersihkan sisa masker yang masih menempel dengan air hangat. Untuk hasil yang lebih maksimal, Anda dapat menambahkan bahan lain seperti secangkir havermut dan yogurt.
- Jus Mentimun. Anda dapat menggunakan jus ketimun sebagai zat alami untuk menghilangkan minyak. Oleh karena itu mentimun dapat menjadi solusi jika Anda memiliki jerawat ataupun bintik merah akibat peradangan.
Nagh
itulah tips cara menghilangkan, memperhalus kulit tanpa harus ke salon, tidak
ribet, dan bisa kita sendiri yang kerjakan, tanpa membuang-buang waktu pula.
Tapi
ingalah bahwa agama kita, tidak menentukan konsep yang pasti mengenai kriteria
“Wanita Cantik” dan juga tidak ada standar yang pasti bagaimana penampilan
cantik itu. Memang penting bagi seorang muslimah
berpenampilan cantik di luar, tapi yang paling penting lagi adalah penampilan
cantik di dalamnya, karena semua itu akan terpancar insyaa allah. Dan ingat
jangan sampai tips penampilan cantik ini dijadikan ajang tabarruj yaa ^^ (UK)
Menjamu Ramadhan
- - Majalah AlFirdaus
Bismillaahirrahmaanirrahiim
"Hai, orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa"
(QS-Baqarah: 183)
Tamu
mulia kembali bertandang. Ramadhan dengan segenap pesan takwa yang ada di
dalamnya, kembali menjumpai kita. Ada kegembiraan yang membuncah, suka cita
yang hadir saat kita kembali memasuki gerbang bulan yang mulia ini. Kadang,
terselip pula haru, teringat pada sanak saudara, kawan, dan sahabat yang di
Ramadhan lalu masih dapat bersahur dan berbuka bersama, namun di tahun ini
ternyata tidak lagi dapat turut menjalankan aktivitas yang serupa. Ya, sebab
segala sesuatu memiliki akhirnya masing-masing.
Ramadhan.
Satu bulan dari bulan-bulan yang lain, yang dipilih oleh Allah sebagai momentum
khusus untuk ‘mengisi-ulang’ keimanan. Di dalam Ramadhan, pahala
dilipatgandakan, amal kebaikan dimudahkan, dan kemaksiatan dihindarkan.
Ramadhan, bulan yang mulia dimana kita diajak untuk merasakan lapar dan dahaga,
merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang tak berpunya. Ramadhan, sebuah
madrasah sebulan penuh, tempat kita berusaha menahan lisan yang kadang lebih
tajam dari pedang, untuk terus mengusahakan hal yang sama selepas Ramadhan
berakhir, hingga seterusnya. Ramadhan, saat masjid-masjid menjadi lebih ramai
dari biasanya. Saat senandung ayat Al Qur’an memantul-mantul di dinding-dinding
setiap rumah. Saat penganan manis berbuka dibagi-bagikan kepada tetangga; salah
satu cara agar silaturahim terjaga. Saat sedekah kita upayakan mengalir bagai
embusan angin, semata mencontoh Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam.
Ramadhan ajarkan kita, bahwa kebaikan memang tidak sesulit yang kita kira.
Duhai,
di belahan bumi lainnya, saudara-saudara kita turut menjamu Ramadhan dengan
segala keterbatasan. Ada yang harus bersabar dengan konflik di negaranya. Ada
pula yang harus menjaga puasa bahkan sembari menjaga nyawanya. Di Somalia sana,
seorang saudara kita bertanya pada Syaikh; Apakah
puasa kami tetap sah meski tak kami miliki sesuatu pun untuk sahur dan buka? Subhanallah,
bukankah telah teramat nyaman kondisi yang Allah takdirkan untuk kita?
Ramadhan,
mengapa ia tidak terjadi sepanjang tahun saja? Mengapa saat kita menatapi hilal
di awal bulannya, nyatanya akan datang pula hilal yang akan menandai
berakhirnya? Begitu nikmat ber-Ramadhan yang penuh dengan keindahan ini. Namun,
seperti segala hal lainnya, ia juga memiliki batasan akhir. Ramadhan tidak akan
berlangsung selamanya; kecuali kita yang mengusahakan semangatnya tetap
bergelora, sepanjang masa. Ramadhan akan berpisah dengan kita, tanpa pernah ada
jaminan bahwa akan kita temui ia di tahun berikutnya. Ah, Ramadhan...
Dunia
yang fana ini, adalah serupa pohon rindang tempat seorang musafir berdiam
sejenak untuk kumpulkan kekuatan. Setelah itu, perjalanan panjang akan kembali
diteruskan. Dunia ini, jika bukan ia yang tinggalkan kita, maka kita yang akan
meninggalkannya. Bagaimana jika, ternyata ini adalah Ramadhan terakhir kita?
Bagaimana
jika inilah Ramadhan terakhir kita, sementara mata yang terlelap lebih panjang
durasinya dibanding ibadah yang penuh khusyuk dan taat? Bagaimana jika kita tak
jumpa lagi dengan Ramadhan, sementara kini puasa tidak menahan lisan dan
prasangka kita dari hal-hal yang tercela? Bagaimana jika Ramadhan tidak akan
lagi menjadi tamu kita, sementara hati ini masih terlalu berat cintanya pada
dunia, terlalu sedikit mengingatNya dalam berdiri, duduk, dan berbaring kita?
Bagaimana jika, inilah Ramadhan terakhir kita, Ramadhan yang masih saja kita
sia-siakan setiap detiknya?
Ramadhan,
sungguh kami terhijabi dari takdir kapan usia ini akan selesai. Jangankan
berjumpa dengan Ramadhan di tahun mendatang, menyelesaikan Ramadhan tahun ini
hingga ujungnya pun masih kami sangsikan. Sungguh meruginya kami jika ternyata
esok mata ini tidak dapat lagi merasakan kehangatan bersahur, keteduhan shaum,
nikmatnya berbuka, syahdunya
qiyamullail, dan merdunya tilawah. Saat rasa malas dalam ketaatan itu kembali
datang, duhai betapa lebih baiknya jika kami mengingat kembali, betapa besarnya
nikmat berpisah dengan dunia dalam keadaan taat. Dan betapa ruginya jika
ternyata maksiat menandai akhir perjalanan. (AR)
Popular Posts
-
Bismillaahirrahmaanirrahiim *sebuah oleh-oleh dari Pengajian Umum 'Rahasia Dzulhijjah dan Qurban', 1 Dzulhijjah 1434 H / 6 Ok...
Category List
AlFirdaus on Date
(7)
Artikel Islami
(11)
Artikel Tsaqofah
(3)
Cerita Kamu
(3)
Event
(2)
Nasihat Untuk Hati
(9)
Poster Islami
(2)
Ucapan Selamat
(2)
Followers
Subscribe via Email
Cara Kirim Tulisan
Redaksi menerima tulisan dari pembaca. Yang tulisannya dimuat, Insya Allah akan mendapat imbalan. Tulisan yang masuk akan menjadi milik redaksi dan tidak dikembalikan. Jangan lupa sertakan biodata singkat di akhir tulisan. Berminat? Silakan kirimkan tulisan via email ke redaksialfirdaus@yahoo.com